Tanah
Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan
wilayah, sosial dan ekonomi. Suak itu adalah: Simsim, di kawasan Salak,
Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe (Sekarang
Menjadi Kabupaten Pakpak Bharat); Keppas, di kitaran Sitellu Nempu,
Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan
Perbuluhen; Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi,
Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem; Boang, di lingkup
Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil; dan Kelasan,
meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.
Orang
Pakpak juga bermarga. Di lingkup Suak Simsim terdapat sejumlah marga
antara lain Banurea, Beringin, Berutu, Boangmanalu, Cibero, Kebeaken,
Lembeng, Manik, Padang, Sinamo, Sitakar, Sitendang, dan Solin.
Di Suak Keppas: Angkat, Bako, Berampu, Bintang, Capah, Gajah Manik,
Kudadiri, Maha, Pasi, Sambo, Saraan, dan Ujung. Di Suak Pegagan: Cupak
atau Kecupak, Kaloko, Lingga, Manik, Matanari, dan Simaibang.
Di Suak Boang: Bancin, Berutu, Lembeng, dan Pohan. Sedangkan di Suak
Kelasan: Anakampun, Berasa, Gajah, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur,
Sikettang, Tinambunen, Tumangger, dan Turuten.
Kata ‘pakpak’
dalam bahasa Pakpak bermakna tinggi. Bisa jadi karena berdiam di dataran
tinggi atau pegunungan maka masyarakatnya dirujuk sebagai orang Pakpak.
Sejauh ini selain hasil telusuran berdasar asal-usul kata (etimologi)
ada juga tafsir ‘pakpak’ versi lain. Ada yang mengatakan kata ini
berasal dari ‘wakwak’, sebutan untuk kawasan ini oleh warga negeri
Abunawas (Irak sekarang) di zaman baheula.
Ada pula yang
menyebut ‘pakpak’ berasal dari nama orang. Alkisah, tiga pemuda
bersahabat karib bertolak dari Singkil. Nama mereka adalah si Gayo, si
Karo, dan si Pakpak. Pemuda Gayo melangkah mengikuti sungai Kali Alas.
Ia tiba di tanah Gayo. Melanjut ke Kutacane dia dan mentap selamanya.
Pemuda Karo mengikuti Lae Ulun dan tiba di tanah Karo. Di sana ia
tinggal permanen. Adapun pemuda Pakpak, ia mengikuti Lae Renun dan
sampai di Pegagan Hilir. Di sana ia bergabung dengan penduduk asli dan
membentuk perkampungan. Seperti kedua sobatnya ia pun menjadi migran
yang berdiam menetap. Namanya kemudian diabadikan untuk seluruh kawasan.
Sudah ada tiga tafsir tentang muasal kata ‘pakpak’. Lantas orang Pakpak
sendiri dari mana berasal? Seperti halnya asal-usul seluruh etnik atau
sub-etnik lain di Republik ini, yang satu ini pun belum jelas betul.
Aneka macam versinya. Secara umum, sejak zaman Belanda, oleh para
etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam etnik Batak.
Jadi
sama seperti orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola.
Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan—misalnya dalam struktur
sosial, sistem budaya, dan bahasa—puak ini satu sama lain menjadi dasar
penggolongan. Uli Kozok [11], misalnya, menyatakan keenam puak ini
memiliki bahasa yang satu sama lain banyak kesamaannya.
Merujuk
para ahli bahasa ia menyebut bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba
membentuk rumpun selatan; sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi
termasuk rumpun utara. Ihwal Bahasa Simalungun ada dua pendapat. Berdiri
di antara rumpun utara dan selatan, begitu satu pendapat. Merupakan
cabang dari rumpun selatan yang kemudian terpisah sebelum bahasa Toba
dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk, kata pendapat lain.[12]
Pakpak Bukan Batak
Belakangan ini semakin nyaring terdengar pernyataan bahwa Pakpak bukan
Batak, terlepas dari sejumlah unsur kesamaan tadi (Jika ditelusuri lebih
jauh sangat banyak perbedaannya). Menurut pemegang pendapat ini
(umumnya mereka orang Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba
yang selama ini mengkleim sebagai leluhur segenap puak Batak. Diskleim
senada tadinya cuma dari Mandailing. Belakangan orang Karo dan
Simalungun pun kian banyak menyangkal diri Batak. Lama-lama bisa Toba
belaka yang menyebut diri Batak. Tentu para etnologlah yang punya
otoritas untuk menimbang kebenaran kleim atau diskleim ini.
Mereka yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor
lokal dan benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan—patung
orang menunggang gajah atau harimau, terbuat dari batu) yang sampai
kini bisa ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.
Kendati tak tak memiliki mitologi lengkap yang mencakup ihwal
penciptaan dunia dan manusia pertama, orang Pakpak mempunyai folklor
tentang lintasan peradabannya. Menurut folklor ini Pakpak mengenal lima
zaman yakni Similangilang, Sintuara, Sihaji, Hindu, dan Pemimpin.
0 komentar:
Post a Comment