Sunday 27 October 2013

Iam Pakpak Not Batak

Tanah Pakpak terdiri dari lima suak atau kelompok berdasarkan kedekatan wilayah, sosial dan ekonomi. Suak itu adalah: Simsim, di kawasan Salak, Kerajaan, Sitellu Tali Urang Julu, Sitellu Tali Urang Jehe (Sekarang Menjadi Kabupaten Pakpak Bharat); Keppas, di kitaran Sitellu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-pungga, Lae Luhung (Lae Mbereng) dan Perbuluhen; Pegagan dan Karo Kampung, di sekitar Pegagan Jehe, Silalahi, Paropo, Tongging (Sitolu Huta) dan Tanah Pinem; Boang, di lingkup Simpang Kanan, Simpang Kiri, Lipat Kajang, dan Singkil; dan Kelasan, meliputi wilayah Sienem Koden, Manduamas, dan Barus.

Orang Pakpak juga bermarga. Di lingkup Suak Simsim terdapat sejumlah marga antara lain Banurea, Beringin, Berutu, Boangmanalu, Cibero, Kebeaken, Lembeng, Manik, Padang, Sinamo, Sitakar, Sitendang, dan Solin.

Di Suak Keppas: Angkat, Bako, Berampu, Bintang, Capah, Gajah Manik, Kudadiri, Maha, Pasi, Sambo, Saraan, dan Ujung. Di Suak Pegagan: Cupak atau Kecupak, Kaloko, Lingga, Manik, Matanari, dan Simaibang.

Di Suak Boang: Bancin, Berutu, Lembeng, dan Pohan. Sedangkan di Suak Kelasan: Anakampun, Berasa, Gajah, Kesogihen, Maharaja, Meka, Mungkur, Sikettang, Tinambunen, Tumangger, dan Turuten.

Kata ‘pakpak’ dalam bahasa Pakpak bermakna tinggi. Bisa jadi karena berdiam di dataran tinggi atau pegunungan maka masyarakatnya dirujuk sebagai orang Pakpak. Sejauh ini selain hasil telusuran berdasar asal-usul kata (etimologi) ada juga tafsir ‘pakpak’ versi lain. Ada yang mengatakan kata ini berasal dari ‘wakwak’, sebutan untuk kawasan ini oleh warga negeri Abunawas (Irak sekarang) di zaman baheula.

Ada pula yang menyebut ‘pakpak’ berasal dari nama orang. Alkisah, tiga pemuda bersahabat karib bertolak dari Singkil. Nama mereka adalah si Gayo, si Karo, dan si Pakpak. Pemuda Gayo melangkah mengikuti sungai Kali Alas. Ia tiba di tanah Gayo. Melanjut ke Kutacane dia dan mentap selamanya. Pemuda Karo mengikuti Lae Ulun dan tiba di tanah Karo. Di sana ia tinggal permanen. Adapun pemuda Pakpak, ia mengikuti Lae Renun dan sampai di Pegagan Hilir. Di sana ia bergabung dengan penduduk asli dan membentuk perkampungan. Seperti kedua sobatnya ia pun menjadi migran yang berdiam menetap. Namanya kemudian diabadikan untuk seluruh kawasan.

Sudah ada tiga tafsir tentang muasal kata ‘pakpak’. Lantas orang Pakpak sendiri dari mana berasal? Seperti halnya asal-usul seluruh etnik atau sub-etnik lain di Republik ini, yang satu ini pun belum jelas betul. Aneka macam versinya. Secara umum, sejak zaman Belanda, oleh para etnolog orang Pakpak digolongkan ke dalam etnik Batak.

Jadi sama seperti orang Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Adanya sejumlah unsur kedekatan atau kesamaan—misalnya dalam struktur sosial, sistem budaya, dan bahasa—puak ini satu sama lain menjadi dasar penggolongan. Uli Kozok [11], misalnya, menyatakan keenam puak ini memiliki bahasa yang satu sama lain banyak kesamaannya.

Merujuk para ahli bahasa ia menyebut bahasa Angkola, Mandailing, dan Toba membentuk rumpun selatan; sedangkan bahasa Karo dan Pakpak-Dairi termasuk rumpun utara. Ihwal Bahasa Simalungun ada dua pendapat. Berdiri di antara rumpun utara dan selatan, begitu satu pendapat. Merupakan cabang dari rumpun selatan yang kemudian terpisah sebelum bahasa Toba dan bahasa Angkola-Mandailing terbentuk, kata pendapat lain.[12]

Pakpak Bukan Batak
Belakangan ini semakin nyaring terdengar pernyataan bahwa Pakpak bukan Batak, terlepas dari sejumlah unsur kesamaan tadi (Jika ditelusuri lebih jauh sangat banyak perbedaannya). Menurut pemegang pendapat ini (umumnya mereka orang Pakpak) sebagai etnik Pakpak lebih tua dari Toba yang selama ini mengkleim sebagai leluhur segenap puak Batak. Diskleim senada tadinya cuma dari Mandailing. Belakangan orang Karo dan Simalungun pun kian banyak menyangkal diri Batak. Lama-lama bisa Toba belaka yang menyebut diri Batak. Tentu para etnologlah yang punya otoritas untuk menimbang kebenaran kleim atau diskleim ini.

Mereka yang menyatakan Pakpak lebih tua dari Toba merujuk pada folklor lokal dan benda-benda budaya dari zaman Hindu (di antaranya mejan—patung orang menunggang gajah atau harimau, terbuat dari batu) yang sampai kini bisa ditemukan di tanah Pakpak untuk menguatkan argumennya.

Kendati tak tak memiliki mitologi lengkap yang mencakup ihwal penciptaan dunia dan manusia pertama, orang Pakpak mempunyai folklor tentang lintasan peradabannya. Menurut folklor ini Pakpak mengenal lima zaman yakni Similangilang, Sintuara, Sihaji, Hindu, dan Pemimpin.


0 komentar: