A. Konsep
Kebudayaan
Kebudayaan dalam pengertian awam sering diidentikkan dengan hal-hal yang
berhubungan dengan keindahan dan seni semata atau benda-benda peninggalan masa
lalu suatu kelompok sosial tertentu saj. Secara teoritis dan empiris jelas
pengertian ini salah, karena kebudayaan merupakan pola dari dan pola bagi
berpikir dan berprilaku suatu masyarakat. Dalam ilmu sosial konsep kebudayaan
sebenarnya dapat dibagi atas dua paradigma besar yaitu : paradigma kognitif dan
paradigma prilaku. Para ahli yang
menganut paradigma kognitif menjelaskan kebudayaan sebagai apa yang
dipersepsikan dan dipikirkan oleh manusia sebagai bagian dari kelompok masyarakat
tertentu. Dengan demikian berarti sifatnya abstrak karena mencakup
ide,pengetahuan, aturan dan hukum. Sebaliknya para ahli yang percaya dengan
paradigma prilaku lebih mengartikan kebudayaan sebagai apa yang dilakukan
manusia sebagai anggota kelompok masyarakat tertentu. Kedua paradigma tersebut
tentu berimplikasi terhadap hasil kajian masing-masing tentang apa dan
bagaimana kebudayaan itu sendiri.
Di Indonesia seorang pakar
Antropologi yakni Koentjaraningrat, dalam kajian-kajiannya mengakomodir kedua
cara pandang tersebut. Menurut beliau Kebudayaan adalah keseluruhan sistem ide, gagasan, aktivitas dan hasil karya manusia yang
dijadikan milik bersama dan diperoleh melalui proses belajar. Lebih lanjut
dikatakan kebudayaan memiliki 3 wujud dan 7 unsur universal. Tiga wujud
tersebut terdiri dari :
(1) sistem budaya yang mencakup ide-ide, gagasan, nilai-nilai, pengetahuan,
aturan dan norma. Sifatnya abstrak karena tidak dapat diraba dan letaknya berada
di pikiran pendukungnya; (2) Sistem sosial terdiri dari aktivitas , interaksi
dan tindakan. Sifatnya konkrit karena dapat dilihat dan diamati oleh indra; (3)
Artifak yang terdiri dari benda-benda hasil karya budaya. Sifatnya sangat
konkrit karena dapat diraba dan dipegang.
Tujuh unsur kebudayaan yang universal menurut
beliau terdiri dari : bahasa, sistem pengetahuan, mata pencaharian, peralatan
dan teknologi, organisasi sosial, kesenian, dan religi. Dikatakan universal
karena hampir semua masyarakat (suku bangsa)
memiliki ke-tujuh unsur tersebut dan masing-masing unsur dapat dianalisa
berdasarkan 3 wujud kebudayaan tersebut.
Mengacu pada konsep kebudayaan tersebut, berarti
cakupannya sangat luas dan bervariasi. Untuk mengkaji tentang kebudayaan Pakpak berarti idealnya menganalisa tentan 3
wujud dan 7 unsur yang terdiri dari : Bahasa Pakpak, Sistem Mata Pencaharian
Hidup Pakpak, Sistem Pengetahuan Pakpak, Sistem Peralatan hidup dan teknologi
Pakpak, Sistem Oranisasi Sosial Pakpak, Kesenian Pakpak, dan Sistem Religi
Pakpak. Dalam makalah singkat ini tentu tidak mungkin dikaji secara
keseluruhan, karena selain dibutuhkan waktu yang panjang, juga faktor keterbatasan
dari penulis sendiri dalam pemahaman kebudayaan Pakpak yang kurang mendalam
menjadi suatu kendala. Dengan demikian saya akan lebih fokus pada beberapa sub
unsur yang mungkin lebih relevan sesuai
dengan tujuan kegiatan ini.
B. Mengenal Pakpak[2]
Berdasarkan wilayah komunitas dan dialek bahasa
yang digunakan Pakpak mengkategorikan dirinya menjadi lima suak (bagian) yang dikenal dengan Pakpak Silima suak yakni : Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak
Simsim, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen. Masing-masing kelompok suak bila diteliti secara mendalam tentu
memiliki perbedaan-perbedaan,tapi semua kelompok suak mengaku dan mengidentifikasi diri sebagai suku bangsa atau
etnis Pakpak.
Secara geografis sebenarnya komunitas Pakpak
berada dalam satu wilayah, tapi secara administrasi pemerintahan terbagi dalam
beberapa kabupaten dan kota, yaaitu : Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Singkel, Kabupaten Pakpak
Bharat dan Kota Sabulusalam..
Sejarah asal usul etnis Pakpak hingga kini belum
ada kajian yang representatif. Ada tulisan yang menyatakan berasal dari Hindia
Belakang dan ada juga yang menyatakan berasal dari etnis-etnis yang ada di
Sumatera Utara terutama dari etnis Batak Toba. Semuanya tentu masih bersifat
spekulatif karena tidak didasarkan pada kajian ilmiah. Namun harus diakui juga
beberapa marga di Pakpak merupakan hasil difusi dari etnis lain yang berdekatan
secara geografis dengan wilayah Pakpak. Hal ini lumrah saja terjadi bagi setiap
kelompok etnis di belahan dunia mana pun. Pastinya setiap marga Pakpak memiliki
latar belakang sejarah dan silsilah secara sendiri-sendiri. Dari sudut cerita
rakyat (legenda), Pakpak mengenal tiga zaman yaitu zaman Ntuara, Zaman Si Aji
dan zaman Manisia. Zaman Ntuara diceritakan merupakan zaman manusia raksasa
yang hidup di gua-gua; Zaman si Aji diceritakan merupakan zaman manusia purba
yang mana bentuk tubuhnya telah sama dengan manusia biasa (homosapien) tapi
masih hidup secara sederhana dan tidak berpakaian. Baru zaman manisia adalah
zaman yang sudah memiliki kebudayaan yang sama dengan manusia dengan peradaban
yang sama dengan orang Pakpak saat ini. Demikian juga sejarah marga-marga yang
ada pada etnis Pakpak hingga kini belum banyak diketahui, diteliti dan
dipublikasikan. Tentu saja hal tersebut menjadi tugas kita bersama.
Sistem organisasi sosial masyarakat
Pakpak diatur dalam struktur sulang
Silima yang teridiri dari 5 unsur : Sinina
situaen, Sinina Penengah, sinina sikedeken, Puang, dan berru. Ke lima unsur
ini sangat penting peranannya dalam proses pengambilan keputusan baik di
tingkat jabu (keluarga inti), sada bapa dan sada empung (keluarga
luas), komunitas (kuta), maupun marga
(klen). Ke lima unsur tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori besar yaitu : Sinina, Puang dan Berru. Sinina ada dua jenis yaitu sinina semarga (dari pihak ayah) dan sinina tidak semarga (dari pihak ibu).
Kelompok Puang terbagi beberapa
kategori, antara lain : Puang Bena ni
ari, Puang Benna, Puang Pengamaki, dan Puang labe. Berru terdiri dari : berru penelangkeen mbelgah (Takal Peggu),
Berru Penelangkeen kedek (Ekur Peggu), berru ndiangkip, berru labe dan
lain-lain. Penulis cenderung menganggap istilah sibeltek dalam adat Pakpak identik dengan saudara sekandung,
walaupun prakteknya saat ini menjadi meluas maknanya (semarga). Demikian juga
istilah Kula-kula, penulis yakin
merupakan serapan (pengaruh) istilah Hula-hula
(Toba). Buktinya tidak pernah dalam acara adat disebut Kula-kula Bena ni ari, kula-kula bennna dan seterusnya. Lebih
menggelitik lagi istilah dongan tubu dan
marsipanganan yang sering diakomodir dan diterjemahkan secara langsung oleh
warga Pakpak atau malah oleh juru bicara adat (persinabul) di arena upacara
adat dengan terjemahan dengan tubuh dan
mersipanganen. Makna kedua kaata tersbut sangat bertentangan dalam bahasa
Pakpak. Dengan tubuh merupakan bahasa
halus dari kemaluan laki-laki, demikian juga mersipanganen yang berarti saling berkelahi.
C. Gambaran Beberapa Sub-Unsur Kebudayaan Pakpak
1. Upacara Adat
Upacara adat secara tradisional disebut dengan istilah kerja atau kerja-kerja. dDalam bahasa sehari-hari sering juga
disebut dengan istilah pesta. Kerja
atau kerja-kerja dibagi atas dua bagian besar yaitu Kerja Baik dan Kerja Njahat. Kerja Baik berarti jenis upacara yang
dilaksanakan dalam keadaan sukacita, misalnya :mangan balbal, merre nakan merasa, menerbeb, merkottas, merbayo,
menanda tahun, mendomi sapo dll. Sebaliknya Kerja Njahat adalah upacar adat yang terkait dengan dukacita. Njahat dalam bahasa Pakpak dapat
diartikan sulit atau terpaksa dilaksanakan. Contohnya : upacara kematian (mate Ncayur Ntua), mengokal tulan dan
menutung tulan. Dalam makalah singkat ini yang akan dibahas hanya upacara
adat yang terkait dengan kelahiran, perkawinan dan menanda tahun.
Secara sederhana berbagai jenis upacara adat yang
dikenal masyarakat Pakpak tergambar dalam bagan berikut:
1.1.
Upacara Yang Terkait Dengan Kelahiran Anak.
Ada tiga Upacara adat yang terpenting dalam proses kelahiran anak, yaitu : merre nakan merasa atau nakan pagit, Mangan Nakan Balbal dan mengkelembisi
atau mesur-mesuri. Merre Nakan Merasa
atau Nakan Pagit dilaksanakan pada saat seorang perempuan mengandung.
Kerabatnya yang wajib memberikan nakan merasa adalah oran tua dan saudara
laki-laki istri. Tujuan dan maknanya agar si ibu dan anak yang dikandung berada
dalam keadaan sehat walafiat hingga si anak lahir. Nakan Pagit terjemhan
harafiahnya adalah nasi pahit yang diidentikkan dengan darah pahit (pagit
daroh) bila dimakan. Selanjutnya bila agar darah si ibu dan anak pahit rasanya,
maka penyakit enggan masuk dan menggangu. Bahan Nakan merasa terdiri dari :
beras, singgaren, Bungke, terong, ikan Batang Lae. Beras, singgaren, Bungke,
dan Terong (tuyung) diaduk bersama saat memasak nasi. Ikan Batang Lae diasapi
dalam daun Sengkut (ikan Binenem).
Setelah anak lahir, sebagai ucapan syukur diadakan
makan bersama (tetangga dan kerabat dekat) dengan memotong beberapa ekor ayam
dan satu ekor dipotong dengan aturan tertentu (mersendihi) untuk diserahkan kepada dukun bayi (bidan) yang
membantu. Upacara ini dinamakan dengan mangan
Nakan Balbal.
Upacara adat penting lainnya adalah menkelembisi
dan mesur-mesuri, yaitu pihak kerabat, tetangga dan teman (supan-supan) secara bergilir (lambe
siso tenahenken) membawa makanan kepada keluarga yang melahirkan. Pihak puang diwajibkan membawa makanan dengan
lauk ayam dan mengkelembisi anak yang
lahir tersebut. Mengkelembisi artinya
memberikan doa (sodip) terhadap anak
yang lahir agar sehat walafiat dan cepat besar dengan memberikan makan secara
simbolis kelembis (bagian dada) ayam
kepada si anak. Contoh ucapan doanya (sodip) seperti berikut :
Mbis.....kelembis
idengani Tuhan ko, ndor mbelgah bage belgah-belgah cemun, ulang megar-megar,
ndaoh hali habat, ulang ipagut nipe, ulang itinggang punggur, ulang manun,
pagit mo darohmu janah njuah jerdik partua nang karina kami kade-kademu”.
Pihak keluarga berkewajiban membalas pihak puang yang datang dengan memberikan sarung (mandar) dan garam. Pihak berru
selain membawa makanan kepada keluaarga yang melahirkan, juga wajib membawa
sarung. Lauk makanannya biasanya ikan atau daging tapi tidak ayam mersendihi. Sedangkan pihak sinina lebih bebas dalam hal lauk
makanan dan hadiah yang diberikan kepada keluarga yang melahirkan. Demikian
juga halnya supan-supan bebas untuk
memberikan sesuai keinginan dan kemampuan.
1.2.
Upacara perkawinan.
Upacara Perkawinan yang ideal dilaksanakan di
rumah pengantin perempuan yang dinamakan dengan merbayo, Sitari-tari, sinima-nima atau muat mende. Saat ini sering jua dilaksanakan di trmpat kediaman
laki-laki sesuai kesepakatan bersama pada saat mengkata utang. Pada zaman dahulu seluruh proses perkawinan diatur
oleh orangtua dan kerabat dari kedua belah pihak. Pengantin sifatnya pasiv
termasuk dalam penentuan jodoh. Biasanya seseorang akan kawin dengan impalnya. Bila kawin dengan pihak luar
maka si laki-laki wajib minta ijin kepada keluarga Puhun dengan suatu upacara adat yang disebut memerre emmas pilihen. Ada beberapa tahapan dalam perkawinan yaitu
: mengririt/mengindangi; memerre tanda
burju, mengkata utang, tangis sijahe (tangis berru pangiren), muat nakan
peradupen, merbayo, balik ulbas,dan
balik une
Ada beberapa hak dan kewajiban dari kedua belah pihak pengantin yang
diimplementasikan pada saat merbayo. Dalam
pengertian umum dapat diartikan sebagai mas kawin dan variasinya. Dalam adat Pakpak dinamakan dengan roji, seperti tertera dalam tabel
berikut:
Roji dalam Upacara perkawinan Pakpak
No.
|
Roji
|
Simenjalo/Simemere
|
1.
|
Kesukuten/Takal unjuken
|
Sukut (orang tua
kandung)
|
2.
|
Upah Turang
|
Patua/Tonga/Papun
(kandung)
|
3.
|
Togoh-togoh
|
Patua/Tonga/Papun (sada
bapa)
|
4.
|
Pertadoen
|
Patua/Tonga/Papun (sada
empung)
|
5.
|
Penampati
|
Patua/Tonga/Papun (sada
empung)
|
6.
|
Persinabuli
|
Patua/Tonga/Papun/Panguda
|
7.
|
Upah Puhun
|
Puhun/mamberru
|
8.
|
Upah empung
|
Puhun/ turang
|
9
|
Penelangkeen Mbellen
|
Berru (merkedekoen)
|
10
|
Penelangkeen kedek
|
Berru (merkedekoen)
|
11
|
Upah mendedah
|
Namberru/kaka
|
12
|
Kiang Siso siat
|
Sibeltek/Tonga,Patua/Papun
(kandung)
|
13
|
Kaing Siso merumpan
|
Mpung
|
14
|
Peroles mbellen
|
Sincelket
|
15
|
Peroles kedek
|
Kade-kade
|
16
|
Reme-remme juluen
tapien
|
Kade-kade simak dapet
oles
|
1.3. Upacara Menanda Tahun.
Menanda Tahun berasal dari kata dasar tanda dan
tahun yang dapat diartikan sebagai memberikan tanda setiap tahun bahwa
menjelang musim tanam di ladang telah tiba. Untuk itu bagi warga kuta atau
lebbuh tertentu diadakanlah suatu muasyawarah untuk menentukan waktu, bentuk
serta hak dan kewajiban warganya terkait pelaksanaan upacara. Waktu
pelaksanaannya biasanya sekitar Juni atau Pebruari setiap tahunnya, tergantung
musim tanam di suatu wilayah kuta. Bentuknya bisa secara sederhana tapi bisa
juga secara meriah dengan memotong lembu dan diiringi musik (genderang sipitu)
atau cukup dengan memeotong ayam saja. Bentuk upacara tersebut tergantung
musyawarah kuta. Tapi yang pasti ada beberapa peralatan, dan lauk pauk yang
wajib sifatnya, antara lain: Tugal, benih padi, langgaten,pelleng, pancongan
bambu dan ayam satu ekor.
Upacara ini pada awalnya memang terkait dengan
kepercayaan tradisional Pakpak, tapi setelah menganut agama maka saat ini
disesuaikan dengan ajaran agama yang dianut oleh masing-masing kuta. Hal
penting dari upacara ini sebenarnya adalah beragamnya nilai, aturan dan prilaku
yang kondusif sebagai kontrol sosial dan konservasi lingkungan. Misalnya, nilai
dan aturan yang menyatakan bahwa hutan milik warga tapi milik penguasa gaib
(Tuhan). Untuk itu manusia tidak diperkenankan semena-mena memperlakukannya,
misalnya tidak bisa membakar secara sembarang waktu, tidak bisa mengolah hutan
di sembarang lokasi, tidak bisa menanam padi di sembarang waktu, tidak bisa memperolok-olok
penghuni hutan dengan kata-kata tidak senonoh, anak-anak harus menghormati yang
lebih tua, sindiangkip harus hormat pada sukut ni talun dan sebagainya.
Berbagai aturan ini umumnya berlaku sepanjang waktu bagi kuta yan masih
melaksanakan upacara menanda tahun. Belum lagi aturan-aturan baru yang muncul
saat pelaksanaan upacara yang sering disesuaikan pimpinan upacara dengan
kondisi saat upacara berlangsung. Semuanya aturan ini tentu sangat kondusif
bagi pelestarian ekosistem dan dapat menjadi kontrol sosial di tengah-tengah
masyarakat.Upacara ini masih dilaksanakan khususnya di Kecamatan
Pergetteng-getteng sengkut, tapi banyak wilayah lain di Pakpak Si Lima Suak
sudah titinggalkan.
2. Pertuturen
Salah satu hal terpenting dalam sistem kekerabatan adalah pertuturen, yaitu
istilah dan adat sopan santun kekerabatan. Pertuturen Pakpak terkait dengan
struktur sulang silima, sehingga dapat dikagorikan menjadi lima istilah utama, yakni : Patua (situaen), tonga/panguda
(sindiruang), papun(siampunen), namberru (berru) dan Puhun (Puang). Ada
perbedaan istilah kekerabatan antara pihak kerabat sejajar ibu dengan pihak
kerabat sejajar ayah. Dari kerabat
sejajar ibu (sinina) hanya dikenal
dua istilah Yaitu : Nantua dan nanguda, sebaliknya dari pihak sejajar ayah (sinina)
ada tiga istilah, yakni : Patua, tonga dan
Papun. Saat ini terutama generasi
muda warga perantauan di perkotaan sering tidak bisa membedakannya. Misalnya,
dengan memanggil uda baik sinina dari ayah maupun dari ibu, sehingga kita tidak
bisa membedakannya.
Hal lain yang perlu dipahami dalam pertuturen adalah adat sopan santun yang
terkait dengan hubungan tabu (rebbu) dan
bukan tabu (perbayoen). Dinamakan perbayoen berarti harus berpantang,
sungkan dan hormat, misalnya: antara menantu dengan mertua (kalak nampuhun, kalak mamberru), dan antar saudara ipar (kalak
bayongku, kalak anggi, kalak kaka). Sebaliknya ada hubungan tidak
berpantang (akrab), misalnya antara saudara kandung, mamberru, namberru, kaka, anggi dll. Pada generasi muda dan
masyarakat Pakpak di perkotaan, hal ini sering tidak dipahami atau dilanggar
aturan adat tersebut. Berubahnya istilah
adat sopan santun kekerabatan tersebut tentu berubah juga status dan peranan
masing-masing pihak penutur.
D. Dilema Kebudayaan Pakpak
Menurut pengamatan penulis, kebudayaan Pakpak saat ini cukup
memprihatinkan, baik dari segi pelestarian dan pemeliharaan, apalagi dari sudut pengembangannya. Malah
penulis merasa kebudayaan Pakpak saat ini dalam kondisi terpuruk, karena fakta
lapangan menunjukkan selain tidak banyak dikenal publik, juga terjadi krisis
identitas dan tidak jelas eksistensinya. Hal ini terjadi tentu karena semua
pihak tidak peduli, tidak memberi perhatian, tidak menghargai dan tidak ada
yang bertindak, terutama tentunya orang yang mengaku sebagai orang Pakpak dan
pemerintah daerah terkait. Perlu dipahami identitas suatu suku bangsa
sebenarnya ditentukan dan dipancarkan oleh kebudayaannya. Jadi bila tidak ada
perbedaan kebudayaan Pakpak dengan kebudayaan suku bangsa lainnya, maka tidak
ada juga perbedaan identias Pakpak. Lebih ekstrim lagi bila kebudayaan Pakpak punah,
maka identitas suku bangsa Pakpak tinggal hanya kenangan atau hanya tercatat
dalam sejarah Indonesia. Walaupun secara teoritis hal ini sulit terjadi, tapi
kondisi tersebut harus dipahami dan disadari terutama oleh orang Pakpak
sendiri. Tidak usah di tingkat nasional, di Sumatera utara sendiri pelestarian
dan pengembangan kebudayaan Pakpak jauh tertinggal dibanding etnis lainnya.
Selain yang telah disebutkan sebelumnya, kurangnya
kepedulian dan kurangnya penghargaan warga Pakpak terhadap kebudayaanya sendiri
dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut. Dalam upacara perkawinan campur
(terutama diperkotaan), umumnya warga Pakpak akan mengikuti adat pihak yang
dikawini tanpa menunjukkan identitas adatnya sendiri. Hal yang sama terjadi
pada upacara kematian. Malah sudah sering terjadi kawin sesama Pakpak tapi
upacara adat yang dipakai dari etnis lain. Dalam praktek adat puang mengolesi
berru, bagi warga Pakpak di perkotaan dianggap hal biasa saja, pada hal
melanggar nilai dan falsafah adat Pakpak, karena idealnya berru-lah yang
mengolesi Puang. Hal yang sama tidak
mungkin atau sulit terjadi pada masyarakat Karo atau Toba di perkotaan (Jakarta
atau Medan).
Banyaknya generasi muda Pakpak di Perkotaan dan
malah di lebbuh yang tidak paham bahasa Pakpak. Hasil penelitian Mutsuhito
Solin tentang eksistensi bahasa Pakpak di wilayah silima suak Pakpak lima belas
tahun yang lalu menunjukkan fenomena tersebut, kecuali di suak simsim dan Boang.
Di Keppas, Kelasen dan Pegagan umumnya
bahasa Pakpak hanya digunakan di rumah tangga saja tapi tidak di ranah publik.
Contoh lainnya begitu mudahnya sebagian warga
Pakpak mengganti identias marga atau malah etnisnya hanya dengan alasan
adaptasi dalam pergaulan. Atau tidak mengganti marga tapi menyamakan dengan
kelompok marga-marga etnis lain, sehingga bertabrakan bila dihubungkan dengan
sistem kekerabatan dan sejarah marganya sendiri. Contohnya kelompok marga Parna
di Toba, ada marga Manik, Bancin, Banurea yang katanya termasuk kelompok marga
Parna, pada hal di lebbuh Banurea dan Bancin bisa saling kawin karena sejarah
dan silsilah kedua marga tersebut memang tidak ada hubungan bersaudara. Marga
Banurea diyakini dan diakui bersaudara kandung dengan Manik, Tendang, Beringin,
Gajah,dan Berasa (keturunan Mpung Pubada). Sebaliknya Bancin bersaudara dengan
Boangmanalu dan si enem koden.
Bila kita telusuri lebih
jauh keterpurukan ini telah lama terjadi dan menurut analisa penulis ada dua
faktor sebagai penyebab yaitu faktor luar dan faktor dari dalam. Faktor luar
antara lain : faktor sejarah kolonial dengan politik pecah belah; missi agama
(kristen dan Islam); intensifnya kontak dengan etnis lain; tingginya perkawinan
campur dan tentu saja pengaruh teknologi informasi. Faktor sejarah kolonial
misalnya diawali oleh masuknya Pakpak Silima suak ke Wilayah administasi Keresedinen
Tapanuli, selanjutnya suak Boang masuk ke wilayah Aceh. Setelah kemerdekaan pun
kondisi ini dipertahankan oleh Pemerintah RI. Malah setelah menjadi Kabupaten
Dairi, suak Pakpak Kelasen tetap menjadi bagian wilayah Tapanuli Utara. Malah
nama Kabupaten saat itu harus Dairi, pada hal usul tokoh-tokoh Pakpak
mengajukan nama Kabupaten Pakpak. Akibatnya hingga kini Pakpak Silima Suak terpecah belah
ke dalam beberapa pemerintahan Kabupaten yaitu : di Kabupaten Humbang
Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Pakpak Kelasen); Kabupaten Singkil dan Kota
Sabulusalam (Pakpak Boang); Kabupaten Dairi (Keppas dan Pegagan); serta
Kabupaten Pakpak Bharat (Pakpak Simsim).
Faktor dalam (internal) antara lain: kurangnya
internalisasi, kurangnya pemahaman akan budaya sendiri, kurangnya kepedulian,
kecintaan dan penghargaan, kurangnya jumlah panutan, kurangnya percaya diri
sebagai warga Pakpak, rendah diri dan mudahnya berasimilasi.
E. Penutup
Pakpak sebagai suatu etnis di
Indonesia sebenarnya sangat kaya akan budayanya, tapi sayangnya kurang
terpublikasi ke publik karena buku-buku teks, hasil penelitian dan media tulis
lainnya sangat minim, baik di perpustakaan mupun di toko-toko buku. Keadaan ini
seharusnya menjadi keprihatinan semua warga Pakpak dimana pun berada. Kondisi
ini menurut pengamatan kami erat kaitannya dengan kurangnya kepedulian, kecintaan,
penghargaan warga Pakpak sendiri dan pemerintah daerah. Seyogianya tidak terjadi
demikian bila berbagai elemen masyarakat Pakpak dan pemerintah daerah terkait memberikan
sumbangsihnya sesuai kapasitas dan kemampuannya dalam rangka pelestarian, pemeliharaan
dan pengembangan adat dan budaya Pakpak, baik secara individu maupun secara
kelompok. Contohnya, seperti kegiatan
pulungen marga Sinamo hari ini.
Akibat dari sikap dan
prilaku pendukung tersebut pada sekitar tahun 80 an seorang guru besar di
Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. T.Amin Ridwan pernah berujar dalam suatu
seminar di Medan, bahwa bahasa Pakpak sebagai suatu bahasa etnis di Indonesia
diperkirakan akan punah karena tergilas modernisasi dan kurangnya
perhatian warganya sendiri untuk
melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya sendiri. Pernyataan tersebut
mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan warga Pakpak, pada hal bila kita
berpikiran jernih fenomena kearah tersebut memang terjadi di lapangan. Pemerintah
daerah di tempat asal orang Pakpak sendiri, nampaknya masih berkutat di tingkat
wacana dalam hal pelestarian, pengembangan dan publikasi tentang kebudayaan
Pakpak, tapi belum bertindak secara proaktiv.
Contohnya peninggalan nenek moyang berupa Mejan, Pengulu Balang dan Pertulanen setiap tahun hilang tidak ada
yang peduli, termasuk kita semua yang ada di sini.
Secara
teori hal tersebut sulit atau lambat terjadi,karena sepanjang ada orang yang
mengaku Pakpak tentu tidak akan punah, tapi
sekiranya pengamatan ahli tersebut menjadi cambuk bagi kita warga
Pakpak. Saya juga melihat bahwa keterpurukan identitas budaya Pakpak terjadi
hingga saat ini, baik di daerah asal (lebbuh) maupun di perantauan. Untuk itu mulai sekarang kita harus wujudkan
kepedulian dan penghargaan melalui berbagai strategi dan metodologi sehingga
adat dan budaya Pakpak tetap eksis dan berkembang dengan tindakan sebagai
berikut:
- Semua
warga Pakpak harus bangga dan peduli akan eksistensi etnisnya, karena
kedudukannya sama dengan etnis lain di Indonesia baik secara hukum maupun
sosial budaya.
- Lakukan berbagai
program dan kegiatan baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.
Misalnya, zikarah, runggu, seminar, lokakarya dan sebagainya sesuai
kapasitas masing-masing
- Lakukan dokumentasi
dan penelitian untuk selanjutnya dipublikasikan melalui berbagai media
segala hal terkait dengan masalah Pakpak dan kebudayaannya atau berikan
fasilitasi bagi para ahli yang relevan. Misalnya dengan menerbitkan buku,
majalah, bulletin, tulisan populer di media massa dan media internet
dengan berbagai fasilitasnya.
- Warga
Pakpak dan Pemerintah terkait, melakukan pemeliharaan serta pengamanan
terhadap peninggalan-peninggalan nenek moyang yang ada di lebbuh, baik
peninggalan fisik maupun non fisik. Misalnya dengan mendirikan Museum,
Bale dan Perpustakaan.
- Pemerintah
Daerah seharusnya konsisten memberikan fasilitasi kepada institusi lokal
seperti : kelompok seniman, kelompok pengrajin dan lainnya yang terkait
dengan pelestarian dan pengembangan adat dan budaya Pakpak.
Demikian makalah singkat ini dibuat mudah-mudahan
bermanfaat. Mari kita bergandengan
tangan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan pakpak. Berilah
sumbangan sekecil apapun untuk kemajuan budaya pakpak dan kemajuan kita bersama.Njuah-njuah
[1] Dipresentasikan pada Seminar Sehari yang
dilaksanakan Pulungen Sinamo, berru dekket bubrena Jakarta Sekitarnya, pada
hari Sabtu, 18 Juli 2009 di Jakarta.
[2] Pakpak dapat dikategorikan sebagai suatu suku
bangsa yang berdiri sendiri seperti halnya suku bangsa lainnya di Indonesia.
Harsya Bachtiar menyatakan setiap suku
bangsa di Indonesia dapat dikategorikan sebagai suatu nation (bangsa)
tersendiri-sendiri dengan ketentuan memiliki wilayah, kebudayaan, bahasa dan
ideologi masing-masing.
Sumber : Lister Berutu
0 komentar:
Post a Comment