Thursday 24 October 2013

KEBUDAYAAN PAKPAK DAN DILEMA YANG TERJADI[1]



A. Konsep Kebudayaan
Kebudayaan dalam pengertian awam sering diidentikkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keindahan dan seni semata atau benda-benda peninggalan masa lalu suatu kelompok sosial tertentu saj. Secara teoritis dan empiris jelas pengertian ini salah, karena kebudayaan merupakan pola dari dan pola bagi berpikir dan berprilaku suatu masyarakat. Dalam ilmu sosial konsep kebudayaan sebenarnya dapat dibagi atas dua paradigma besar yaitu : paradigma kognitif dan paradigma  prilaku. Para ahli yang menganut paradigma kognitif menjelaskan kebudayaan sebagai apa yang dipersepsikan dan dipikirkan oleh manusia sebagai bagian dari kelompok masyarakat tertentu. Dengan demikian berarti sifatnya abstrak karena mencakup ide,pengetahuan, aturan dan hukum. Sebaliknya para ahli yang percaya dengan paradigma prilaku lebih mengartikan kebudayaan sebagai apa yang dilakukan manusia sebagai anggota kelompok masyarakat tertentu. Kedua paradigma tersebut tentu berimplikasi terhadap hasil kajian masing-masing tentang apa dan bagaimana kebudayaan itu sendiri.
            Di Indonesia seorang pakar Antropologi yakni Koentjaraningrat, dalam kajian-kajiannya mengakomodir kedua cara pandang tersebut. Menurut beliau Kebudayaan adalah keseluruhan sistem ide, gagasan, aktivitas dan hasil karya manusia yang dijadikan milik bersama dan diperoleh melalui proses belajar. Lebih lanjut dikatakan kebudayaan memiliki 3 wujud dan 7 unsur universal. Tiga wujud tersebut terdiri dari :
(1) sistem budaya yang mencakup ide-ide, gagasan, nilai-nilai, pengetahuan, aturan dan norma. Sifatnya abstrak karena tidak dapat diraba dan letaknya berada di pikiran pendukungnya; (2) Sistem sosial terdiri dari aktivitas , interaksi dan tindakan. Sifatnya konkrit karena dapat dilihat dan diamati oleh indra; (3) Artifak yang terdiri dari benda-benda hasil karya budaya. Sifatnya sangat konkrit karena dapat diraba dan dipegang.
Tujuh unsur kebudayaan yang universal menurut beliau terdiri dari : bahasa, sistem pengetahuan, mata pencaharian, peralatan dan teknologi, organisasi sosial, kesenian, dan religi. Dikatakan universal karena hampir semua masyarakat (suku bangsa)  memiliki ke-tujuh unsur tersebut dan masing-masing unsur dapat dianalisa berdasarkan 3 wujud kebudayaan tersebut.
Mengacu pada konsep kebudayaan tersebut, berarti cakupannya sangat luas dan bervariasi. Untuk mengkaji tentang kebudayaan  Pakpak berarti idealnya menganalisa tentan 3 wujud dan 7 unsur yang terdiri dari : Bahasa Pakpak, Sistem Mata Pencaharian Hidup Pakpak, Sistem Pengetahuan Pakpak, Sistem Peralatan hidup dan teknologi Pakpak, Sistem Oranisasi Sosial Pakpak, Kesenian Pakpak, dan Sistem Religi Pakpak. Dalam makalah singkat ini tentu tidak mungkin dikaji secara keseluruhan, karena selain dibutuhkan waktu yang panjang, juga faktor keterbatasan dari penulis sendiri dalam pemahaman kebudayaan Pakpak yang kurang mendalam menjadi suatu kendala. Dengan demikian saya akan lebih fokus pada beberapa sub unsur  yang mungkin lebih relevan sesuai dengan tujuan kegiatan ini.

B. Mengenal Pakpak[2]
Berdasarkan wilayah komunitas dan dialek bahasa yang digunakan Pakpak mengkategorikan dirinya menjadi lima suak (bagian) yang dikenal dengan Pakpak Silima suak yakni : Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Simsim, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen. Masing-masing kelompok suak bila diteliti secara mendalam tentu memiliki perbedaan-perbedaan,tapi semua kelompok suak mengaku dan mengidentifikasi diri sebagai suku bangsa atau etnis Pakpak.
Secara geografis sebenarnya komunitas Pakpak berada dalam satu wilayah, tapi secara administrasi pemerintahan terbagi dalam beberapa kabupaten dan kota, yaaitu : Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Singkel, Kabupaten Pakpak Bharat dan Kota Sabulusalam..
Sejarah asal usul etnis Pakpak hingga kini belum ada kajian yang representatif. Ada tulisan yang menyatakan berasal dari Hindia Belakang dan ada juga yang menyatakan berasal dari etnis-etnis yang ada di Sumatera Utara terutama dari etnis Batak Toba. Semuanya tentu masih bersifat spekulatif karena tidak didasarkan pada kajian ilmiah. Namun harus diakui juga beberapa marga di Pakpak merupakan hasil difusi dari etnis lain yang berdekatan secara geografis dengan wilayah Pakpak. Hal ini lumrah saja terjadi bagi setiap kelompok etnis di belahan dunia mana pun. Pastinya setiap marga Pakpak memiliki latar belakang sejarah dan silsilah secara sendiri-sendiri. Dari sudut cerita rakyat (legenda), Pakpak mengenal tiga zaman yaitu zaman Ntuara, Zaman Si Aji dan zaman Manisia. Zaman Ntuara diceritakan merupakan zaman manusia raksasa yang hidup di gua-gua; Zaman si Aji diceritakan merupakan zaman manusia purba yang mana bentuk tubuhnya telah sama dengan manusia biasa (homosapien) tapi masih hidup secara sederhana dan tidak berpakaian. Baru zaman manisia adalah zaman yang sudah memiliki kebudayaan yang sama dengan manusia dengan peradaban yang sama dengan orang Pakpak saat ini. Demikian juga sejarah marga-marga yang ada pada etnis Pakpak hingga kini belum banyak diketahui, diteliti dan dipublikasikan. Tentu saja hal tersebut menjadi tugas kita bersama.
            Sistem organisasi sosial masyarakat Pakpak diatur dalam struktur sulang Silima yang teridiri dari 5 unsur : Sinina situaen, Sinina Penengah, sinina sikedeken, Puang, dan berru. Ke lima unsur ini sangat penting peranannya dalam proses pengambilan keputusan baik di tingkat jabu (keluarga inti), sada bapa dan sada empung (keluarga luas), komunitas (kuta), maupun marga (klen). Ke lima unsur tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori besar yaitu : Sinina, Puang dan Berru. Sinina ada dua jenis yaitu sinina semarga (dari pihak ayah) dan sinina tidak semarga (dari pihak ibu). Kelompok Puang terbagi beberapa kategori, antara lain : Puang Bena ni ari, Puang Benna, Puang Pengamaki, dan Puang labe. Berru terdiri dari : berru penelangkeen mbelgah (Takal Peggu), Berru Penelangkeen kedek (Ekur Peggu), berru ndiangkip, berru labe dan lain-lain. Penulis cenderung menganggap istilah sibeltek dalam adat Pakpak identik dengan saudara sekandung, walaupun prakteknya saat ini menjadi meluas maknanya (semarga). Demikian juga istilah Kula-kula, penulis yakin merupakan serapan (pengaruh) istilah Hula-hula (Toba). Buktinya tidak pernah dalam acara adat disebut Kula-kula Bena ni ari, kula-kula bennna dan seterusnya. Lebih menggelitik lagi istilah dongan tubu dan marsipanganan yang sering diakomodir dan diterjemahkan secara langsung oleh warga Pakpak atau malah oleh juru bicara adat (persinabul) di arena upacara adat dengan terjemahan dengan tubuh dan mersipanganen. Makna kedua kaata tersbut sangat bertentangan dalam bahasa Pakpak. Dengan tubuh merupakan bahasa halus dari kemaluan laki-laki, demikian juga mersipanganen yang berarti saling berkelahi.

C. Gambaran Beberapa Sub-Unsur Kebudayaan Pakpak
       1. Upacara Adat
Upacara adat secara tradisional disebut dengan istilah kerja atau kerja-kerja.  dDalam bahasa sehari-hari sering juga disebut dengan istilah pesta. Kerja atau kerja-kerja dibagi  atas dua bagian besar yaitu Kerja Baik dan Kerja Njahat. Kerja Baik berarti jenis upacara yang dilaksanakan dalam keadaan sukacita, misalnya :mangan balbal, merre nakan merasa, menerbeb, merkottas, merbayo, menanda tahun, mendomi sapo dll. Sebaliknya Kerja Njahat adalah upacar adat yang terkait dengan dukacita. Njahat dalam bahasa Pakpak dapat diartikan sulit atau terpaksa dilaksanakan. Contohnya : upacara kematian (mate Ncayur Ntua), mengokal tulan dan menutung tulan. Dalam makalah singkat ini yang akan dibahas hanya upacara adat yang terkait dengan kelahiran, perkawinan dan menanda tahun.
Secara sederhana berbagai jenis upacara adat yang dikenal masyarakat Pakpak tergambar dalam bagan berikut:












Text Box: Bagan
Upacara Adat Pakpak
(Kerja-kerja)
Text Box: Bagan
Upacara Adat Pakpak
(Kerja-kerja)
                                                       

Text Box: Kerja Baik
Text Box: Kerja Njahat
 
Text Box: o Merre Nakan Merasa                                                                 
o Mangan Balbal 
o Mengkelembisi 
o Mergosting 
o Mertakil
o Mengikkir 
o Merre Cinta Lao
o Merbayo
o Merkottas
o Meneppuh babah
o Menerbeb
o Menoto
o Menghabami
o Menanda Tahun
o Merre Kembaen
o Mendegger Uruk
o Majek Sapo
o Mendomi sapo 
o Dll.
 




Text Box:   Mate Bura-bura Koning                                                                     
  Mate Bura-bura Cipako
  Mate Mbohok
  Mate Ncayur Ntua
  Mengrumbang
  Menutung Tulan

 
Text Box: o Merre Nakan Merasa                                                                 
o Mangan Balbal 
o Mengkelembisi 
o Mergosting 
o Mertakil
o Mengikkir 
o Merre Cinta Lao
o Merbayo
o Merkottas
o Meneppuh babah
o Menerbeb
o Menoto
o Menghabami
o Menanda Tahun
o Merre Kembaen
o Mendegger Uruk
o Majek Sapo
o Mendomi sapo 
o Dll.
Text Box: v Daur Hidup
v Mata Pencaharian
v Alam Semesta
v Komunitas
v Rumah tangga
 










Text Box: v Daur Hidup
v Mata Pencaharian
v Alam Semesta
v Komunitas
v Rumah tangga
 












1.1.  Upacara Yang Terkait Dengan Kelahiran Anak.
Ada tiga Upacara adat yang terpenting dalam proses kelahiran anak, yaitu : merre nakan merasa atau nakan pagit, Mangan Nakan Balbal dan mengkelembisi atau mesur-mesuri. Merre Nakan Merasa atau Nakan Pagit dilaksanakan pada saat seorang perempuan mengandung. Kerabatnya yang wajib memberikan nakan merasa adalah oran tua dan saudara laki-laki istri. Tujuan dan maknanya agar si ibu dan anak yang dikandung berada dalam keadaan sehat walafiat hingga si anak lahir. Nakan Pagit terjemhan harafiahnya adalah nasi pahit yang diidentikkan dengan darah pahit (pagit daroh) bila dimakan. Selanjutnya bila agar darah si ibu dan anak pahit rasanya, maka penyakit enggan masuk dan menggangu. Bahan Nakan merasa terdiri dari : beras, singgaren, Bungke, terong, ikan Batang Lae. Beras, singgaren, Bungke, dan Terong (tuyung) diaduk bersama saat memasak nasi. Ikan Batang Lae diasapi dalam daun Sengkut (ikan Binenem).
Setelah anak lahir, sebagai ucapan syukur diadakan makan bersama (tetangga dan kerabat dekat) dengan memotong beberapa ekor ayam dan satu ekor dipotong dengan aturan tertentu (mersendihi) untuk diserahkan kepada dukun bayi (bidan) yang membantu. Upacara ini dinamakan dengan mangan Nakan Balbal.
Upacara adat penting lainnya adalah menkelembisi dan mesur-mesuri, yaitu pihak kerabat, tetangga dan teman (supan-supan) secara bergilir (lambe siso tenahenken) membawa makanan kepada keluarga yang melahirkan. Pihak puang diwajibkan membawa makanan dengan lauk ayam dan mengkelembisi anak yang lahir tersebut. Mengkelembisi artinya memberikan doa (sodip) terhadap anak yang lahir agar sehat walafiat dan cepat besar dengan memberikan makan secara simbolis kelembis (bagian dada) ayam kepada si anak. Contoh ucapan doanya  (sodip) seperti berikut :

Mbis.....kelembis idengani Tuhan ko, ndor mbelgah bage belgah-belgah cemun, ulang megar-megar, ndaoh hali habat, ulang ipagut nipe, ulang itinggang punggur, ulang manun, pagit mo darohmu janah njuah jerdik partua nang karina kami kade-kademu”.

Pihak keluarga berkewajiban membalas pihak puang yang datang dengan memberikan sarung (mandar) dan garam. Pihak berru selain membawa makanan kepada keluaarga yang melahirkan, juga wajib membawa sarung. Lauk makanannya biasanya ikan atau daging tapi tidak ayam mersendihi. Sedangkan pihak sinina lebih bebas dalam hal lauk makanan dan hadiah yang diberikan kepada keluarga yang melahirkan. Demikian juga halnya supan-supan bebas untuk memberikan sesuai keinginan dan kemampuan.

1.2.  Upacara perkawinan.  
Upacara Perkawinan yang ideal dilaksanakan di rumah pengantin perempuan yang dinamakan dengan merbayo, Sitari-tari, sinima-nima atau muat mende. Saat ini sering jua dilaksanakan di trmpat kediaman laki-laki sesuai kesepakatan bersama pada saat mengkata utang. Pada zaman dahulu seluruh proses perkawinan diatur oleh orangtua dan kerabat dari kedua belah pihak. Pengantin sifatnya pasiv termasuk dalam penentuan jodoh. Biasanya seseorang akan kawin dengan impalnya. Bila kawin dengan pihak luar maka si laki-laki wajib minta ijin kepada keluarga Puhun dengan suatu upacara adat yang disebut memerre emmas pilihen. Ada beberapa tahapan dalam perkawinan yaitu : mengririt/mengindangi; memerre tanda burju, mengkata utang, tangis sijahe (tangis berru pangiren), muat nakan peradupen, merbayo, balik ulbas,dan  balik une
 Ada beberapa hak dan kewajiban dari kedua belah pihak pengantin yang diimplementasikan pada saat merbayo. Dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai mas kawin dan variasinya. Dalam adat Pakpak dinamakan dengan roji, seperti tertera dalam tabel berikut:

Roji dalam Upacara perkawinan Pakpak


No.

Roji

Simenjalo/Simemere

1.
Kesukuten/Takal unjuken
Sukut (orang tua kandung)
2.
Upah Turang
Patua/Tonga/Papun (kandung)
3.
Togoh-togoh
Patua/Tonga/Papun (sada bapa)
4.
Pertadoen
Patua/Tonga/Papun (sada empung)
5.
Penampati
Patua/Tonga/Papun (sada empung)
6.
Persinabuli
Patua/Tonga/Papun/Panguda
7.
Upah Puhun
Puhun/mamberru
8.
Upah empung
Puhun/ turang
9
Penelangkeen Mbellen
Berru (merkedekoen)
10
Penelangkeen kedek
Berru (merkedekoen)
11
Upah mendedah
Namberru/kaka
12
Kiang Siso siat
Sibeltek/Tonga,Patua/Papun (kandung)
13
Kaing Siso merumpan
Mpung
14
Peroles mbellen
Sincelket
15
Peroles kedek
Kade-kade
16
Reme-remme juluen tapien
Kade-kade simak dapet oles


1.3. Upacara Menanda Tahun
Menanda Tahun berasal dari kata dasar tanda dan tahun yang dapat diartikan sebagai memberikan tanda setiap tahun bahwa menjelang musim tanam di ladang telah tiba. Untuk itu bagi warga kuta atau lebbuh tertentu diadakanlah suatu muasyawarah untuk menentukan waktu, bentuk serta hak dan kewajiban warganya terkait pelaksanaan upacara. Waktu pelaksanaannya biasanya sekitar Juni atau Pebruari setiap tahunnya, tergantung musim tanam di suatu wilayah kuta. Bentuknya bisa secara sederhana tapi bisa juga secara meriah dengan memotong lembu dan diiringi musik (genderang sipitu) atau cukup dengan memeotong ayam saja. Bentuk upacara tersebut tergantung musyawarah kuta. Tapi yang pasti ada beberapa peralatan, dan lauk pauk yang wajib sifatnya, antara lain: Tugal, benih padi, langgaten,pelleng, pancongan bambu dan ayam satu ekor.  
Upacara ini pada awalnya memang terkait dengan kepercayaan tradisional Pakpak, tapi setelah menganut agama maka saat ini disesuaikan dengan ajaran agama yang dianut oleh masing-masing kuta. Hal penting dari upacara ini sebenarnya adalah beragamnya nilai, aturan dan prilaku yang kondusif sebagai kontrol sosial dan konservasi lingkungan. Misalnya, nilai dan aturan yang menyatakan bahwa hutan milik warga tapi milik penguasa gaib (Tuhan). Untuk itu manusia tidak diperkenankan semena-mena memperlakukannya, misalnya tidak bisa membakar secara sembarang waktu, tidak bisa mengolah hutan di sembarang lokasi, tidak bisa menanam padi di sembarang waktu, tidak bisa memperolok-olok penghuni hutan dengan kata-kata tidak senonoh, anak-anak harus menghormati yang lebih tua, sindiangkip harus hormat pada sukut ni talun dan sebagainya. Berbagai aturan ini umumnya berlaku sepanjang waktu bagi kuta yan masih melaksanakan upacara menanda tahun. Belum lagi aturan-aturan baru yang muncul saat pelaksanaan upacara yang sering disesuaikan pimpinan upacara dengan kondisi saat upacara berlangsung. Semuanya aturan ini tentu sangat kondusif bagi pelestarian ekosistem dan dapat menjadi kontrol sosial di tengah-tengah masyarakat.Upacara ini masih dilaksanakan khususnya di Kecamatan Pergetteng-getteng sengkut, tapi banyak wilayah lain di Pakpak Si Lima Suak sudah titinggalkan.

2. Pertuturen
Salah satu hal terpenting dalam sistem kekerabatan adalah pertuturen, yaitu istilah dan adat sopan santun kekerabatan. Pertuturen Pakpak terkait dengan struktur sulang silima, sehingga dapat dikagorikan menjadi lima istilah utama,  yakni : Patua (situaen), tonga/panguda (sindiruang), papun(siampunen), namberru (berru) dan Puhun (Puang). Ada perbedaan istilah kekerabatan antara pihak kerabat sejajar ibu dengan pihak kerabat  sejajar ayah. Dari kerabat sejajar ibu (sinina) hanya dikenal dua istilah Yaitu : Nantua dan nanguda, sebaliknya dari pihak sejajar  ayah (sinina) ada tiga istilah, yakni : Patua, tonga dan Papun. Saat ini terutama generasi muda warga perantauan di perkotaan sering tidak bisa membedakannya. Misalnya, dengan memanggil uda baik sinina dari ayah maupun dari ibu, sehingga kita tidak bisa membedakannya.
Hal lain yang perlu dipahami dalam pertuturen adalah adat sopan santun yang terkait dengan hubungan tabu (rebbu) dan bukan tabu (perbayoen). Dinamakan perbayoen berarti harus berpantang, sungkan dan hormat, misalnya: antara menantu dengan mertua (kalak nampuhun, kalak mamberru), dan antar saudara ipar (kalak bayongku, kalak anggi, kalak kaka). Sebaliknya ada hubungan tidak berpantang (akrab), misalnya antara saudara kandung, mamberru, namberru, kaka, anggi dll. Pada generasi muda dan masyarakat Pakpak di perkotaan, hal ini sering tidak dipahami atau dilanggar aturan adat tersebut.  Berubahnya istilah adat sopan santun kekerabatan tersebut tentu berubah juga status dan peranan masing-masing pihak penutur.


D. Dilema Kebudayaan Pakpak
Menurut pengamatan penulis, kebudayaan Pakpak saat ini cukup memprihatinkan, baik dari segi pelestarian dan pemeliharaan,  apalagi dari sudut pengembangannya. Malah penulis merasa kebudayaan Pakpak saat ini dalam kondisi terpuruk, karena fakta lapangan menunjukkan selain tidak banyak dikenal publik, juga terjadi krisis identitas dan tidak jelas eksistensinya. Hal ini terjadi tentu karena semua pihak tidak peduli, tidak memberi perhatian, tidak menghargai dan tidak ada yang bertindak, terutama tentunya orang yang mengaku sebagai orang Pakpak dan pemerintah daerah terkait. Perlu dipahami identitas suatu suku bangsa sebenarnya ditentukan dan dipancarkan oleh kebudayaannya. Jadi bila tidak ada perbedaan kebudayaan Pakpak dengan kebudayaan suku bangsa lainnya, maka tidak ada juga perbedaan identias Pakpak. Lebih ekstrim lagi bila kebudayaan Pakpak punah, maka identitas suku bangsa Pakpak tinggal hanya kenangan atau hanya tercatat dalam sejarah Indonesia. Walaupun secara teoritis hal ini sulit terjadi, tapi kondisi tersebut harus dipahami dan disadari terutama oleh orang Pakpak sendiri. Tidak usah di tingkat nasional, di Sumatera utara sendiri pelestarian dan pengembangan kebudayaan Pakpak jauh tertinggal dibanding etnis lainnya.
Selain yang telah disebutkan sebelumnya, kurangnya kepedulian dan kurangnya penghargaan warga Pakpak terhadap kebudayaanya sendiri dapat dilihat dalam beberapa contoh berikut. Dalam upacara perkawinan campur (terutama diperkotaan), umumnya warga Pakpak akan mengikuti adat pihak yang dikawini tanpa menunjukkan identitas adatnya sendiri. Hal yang sama terjadi pada upacara kematian. Malah sudah sering terjadi kawin sesama Pakpak tapi upacara adat yang dipakai dari etnis lain. Dalam praktek adat puang mengolesi berru, bagi warga Pakpak di perkotaan dianggap hal biasa saja, pada hal melanggar nilai dan falsafah adat Pakpak, karena idealnya berru-lah yang mengolesi Puang.  Hal yang sama tidak mungkin atau sulit terjadi pada masyarakat Karo atau Toba di perkotaan (Jakarta atau Medan).
Banyaknya generasi muda Pakpak di Perkotaan dan malah di lebbuh yang tidak paham bahasa Pakpak. Hasil penelitian Mutsuhito Solin tentang eksistensi bahasa Pakpak di wilayah silima suak Pakpak lima belas tahun yang lalu menunjukkan fenomena tersebut, kecuali di suak simsim dan Boang. Di Keppas, Kelasen  dan Pegagan umumnya bahasa Pakpak hanya digunakan di rumah tangga saja tapi tidak di ranah publik.
Contoh lainnya begitu mudahnya sebagian warga Pakpak mengganti identias marga atau malah etnisnya hanya dengan alasan adaptasi dalam pergaulan. Atau tidak mengganti marga tapi menyamakan dengan kelompok marga-marga etnis lain, sehingga bertabrakan bila dihubungkan dengan sistem kekerabatan dan sejarah marganya sendiri. Contohnya kelompok marga Parna di Toba, ada marga Manik, Bancin, Banurea yang katanya termasuk kelompok marga Parna, pada hal di lebbuh Banurea dan Bancin bisa saling kawin karena sejarah dan silsilah kedua marga tersebut memang tidak ada hubungan bersaudara. Marga Banurea diyakini dan diakui bersaudara kandung dengan Manik, Tendang, Beringin, Gajah,dan Berasa (keturunan Mpung Pubada). Sebaliknya Bancin bersaudara dengan Boangmanalu dan si enem koden.  
            Bila kita telusuri lebih jauh keterpurukan ini telah lama terjadi dan menurut analisa penulis ada dua faktor sebagai penyebab yaitu faktor luar dan faktor dari dalam. Faktor luar antara lain : faktor sejarah kolonial dengan politik pecah belah; missi agama (kristen dan Islam); intensifnya kontak dengan etnis lain; tingginya perkawinan campur dan tentu saja pengaruh teknologi informasi. Faktor sejarah kolonial misalnya diawali oleh masuknya Pakpak Silima suak ke Wilayah administasi Keresedinen Tapanuli, selanjutnya suak Boang masuk ke wilayah Aceh. Setelah kemerdekaan pun kondisi ini dipertahankan oleh Pemerintah RI. Malah setelah menjadi Kabupaten Dairi, suak Pakpak Kelasen tetap menjadi bagian wilayah Tapanuli Utara. Malah nama Kabupaten saat itu harus Dairi, pada hal usul tokoh-tokoh Pakpak mengajukan nama Kabupaten Pakpak. Akibatnya   hingga kini Pakpak Silima Suak terpecah belah ke dalam beberapa pemerintahan Kabupaten yaitu : di Kabupaten Humbang Hasundutan dan Tapanuli Tengah (Pakpak Kelasen); Kabupaten Singkil dan Kota Sabulusalam (Pakpak Boang); Kabupaten Dairi (Keppas dan Pegagan); serta Kabupaten Pakpak Bharat (Pakpak Simsim).
Faktor dalam (internal) antara lain: kurangnya internalisasi, kurangnya pemahaman akan budaya sendiri, kurangnya kepedulian, kecintaan dan penghargaan, kurangnya jumlah panutan, kurangnya percaya diri sebagai warga Pakpak, rendah diri dan mudahnya berasimilasi.

E. Penutup
       Pakpak sebagai suatu etnis di Indonesia sebenarnya sangat kaya akan budayanya, tapi sayangnya kurang terpublikasi ke publik karena buku-buku teks, hasil penelitian dan media tulis lainnya sangat minim, baik di perpustakaan mupun di toko-toko buku. Keadaan ini seharusnya menjadi keprihatinan semua warga Pakpak dimana pun berada. Kondisi ini menurut pengamatan kami erat kaitannya dengan kurangnya kepedulian, kecintaan, penghargaan warga Pakpak sendiri dan pemerintah daerah. Seyogianya tidak terjadi demikian bila berbagai elemen masyarakat Pakpak dan pemerintah daerah terkait memberikan sumbangsihnya sesuai kapasitas dan kemampuannya dalam rangka pelestarian, pemeliharaan dan pengembangan adat dan budaya Pakpak, baik secara individu maupun secara kelompok.  Contohnya, seperti kegiatan pulungen marga Sinamo hari ini.
            Akibat dari sikap dan prilaku pendukung tersebut pada sekitar tahun 80 an seorang guru besar di Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. T.Amin Ridwan pernah berujar dalam suatu seminar di Medan, bahwa bahasa Pakpak sebagai suatu bahasa etnis di Indonesia diperkirakan akan punah karena tergilas modernisasi dan kurangnya perhatian  warganya sendiri untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya sendiri. Pernyataan tersebut mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan warga Pakpak, pada hal bila kita berpikiran jernih fenomena kearah tersebut memang terjadi di lapangan. Pemerintah daerah di tempat asal orang Pakpak sendiri, nampaknya masih berkutat di tingkat wacana dalam hal pelestarian, pengembangan dan publikasi tentang kebudayaan Pakpak, tapi belum bertindak secara proaktiv.  Contohnya peninggalan nenek moyang berupa Mejan, Pengulu Balang dan Pertulanen setiap tahun hilang tidak ada yang peduli, termasuk kita semua yang ada di sini.
            Secara teori hal tersebut sulit atau lambat terjadi,karena sepanjang ada orang yang mengaku Pakpak tentu tidak akan punah, tapi  sekiranya pengamatan ahli tersebut menjadi cambuk bagi kita warga Pakpak. Saya juga melihat bahwa keterpurukan identitas budaya Pakpak terjadi hingga saat ini, baik di daerah asal (lebbuh) maupun di perantauan.      Untuk itu mulai sekarang kita harus wujudkan kepedulian dan penghargaan melalui berbagai strategi dan metodologi sehingga adat dan budaya Pakpak tetap eksis dan berkembang dengan tindakan sebagai berikut:
  1. Semua warga Pakpak harus bangga dan peduli akan eksistensi etnisnya, karena kedudukannya sama dengan etnis lain di Indonesia baik secara hukum maupun sosial budaya.
  2. Lakukan berbagai program dan kegiatan baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Misalnya, zikarah, runggu, seminar, lokakarya dan sebagainya sesuai kapasitas masing-masing
  3. Lakukan dokumentasi dan penelitian untuk selanjutnya dipublikasikan melalui berbagai media segala hal terkait dengan masalah Pakpak dan kebudayaannya atau berikan fasilitasi bagi para ahli yang relevan. Misalnya dengan menerbitkan buku, majalah, bulletin, tulisan populer di media massa dan media internet dengan berbagai fasilitasnya.
  4. Warga Pakpak dan Pemerintah terkait, melakukan pemeliharaan serta pengamanan terhadap peninggalan-peninggalan nenek moyang yang ada di lebbuh, baik peninggalan fisik maupun non fisik. Misalnya dengan mendirikan Museum, Bale dan Perpustakaan.
  5. Pemerintah Daerah seharusnya konsisten memberikan fasilitasi kepada institusi lokal seperti : kelompok seniman, kelompok pengrajin dan lainnya yang terkait dengan pelestarian dan pengembangan adat dan budaya Pakpak.
Demikian makalah singkat ini dibuat mudah-mudahan bermanfaat. Mari kita bergandengan  tangan untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan pakpak. Berilah sumbangan sekecil apapun untuk kemajuan budaya pakpak dan kemajuan kita bersama.Njuah-njuah                         




[1] Dipresentasikan pada Seminar Sehari yang dilaksanakan Pulungen Sinamo, berru dekket bubrena Jakarta Sekitarnya, pada hari Sabtu, 18 Juli 2009 di Jakarta.
[2] Pakpak dapat dikategorikan sebagai suatu suku bangsa yang berdiri sendiri seperti halnya suku bangsa lainnya di Indonesia. Harsya Bachtiar menyatakan  setiap suku bangsa di Indonesia dapat dikategorikan sebagai suatu nation (bangsa) tersendiri-sendiri dengan ketentuan memiliki wilayah, kebudayaan, bahasa dan ideologi masing-masing.

Sumber : Lister Berutu

0 komentar: