|
Air Terjun Sicike Cike |
Sumber:
Tarombo Marga Udjung Kalang Simbara Penulis: R.U.S. Udjung (+) Disadur
oleh: Fredy W Udjung Kabupaten Dairi sekarang adalah sebagian dari tanah
Pakpak. Tanah Pakpak terdiri dari 5 daerah: 1. Pakpak Pegagan 2. Pakpak
Keppas 3. Pakpak Simsim 4. Pakpak Kelasen 5. Pakpak Boang Di daerah
Pakpak Keppas, khususnya di sub daerah Si Tellu Nempu, Kecamatan
Sidikalang, tepatnya beberapa kilometer dari kuta Sitinjo tempat
persimpangan (simpang tiga) jalan Sidikalang ke Medan dan ke Dolok
Sanggul, sekitar kuta Bangun, nampak di kejauhan suatu bukit. Di atas
bukit itu ada danau yang disebut danau Sicikecike. Danau ini dulunya
adalah sebuah kuta yang bernama kuta Sicikecike, nama yang kemudian
menjadi sebutan danau yang dimaksud. Apa sebabnya kuta itu dahulu
disebut nama Sicikecike? Apa kekhususannya? Pada zaman itu banyak nama
satu kuta disesuaikan dengan keadaan sekitar, sungai, gunung dan lain
sebagainya. Cike adalah nama sejenis tanaman yang banyak dipakai menjadi
bahan baku menganyam tikar (Tendellen) yang kualitasnya agak kasar.
Cike ini tumbuh di tanah yang berair, pinggir sungai atau rawa-rawa.
Oleh karena disekitar banyak tumbuh tanaman Cike, maka kuta itu disebut
Sicikecike. Kuta Sicikecike terdiri dari 5-6 rumah sesuai dengan
kebiasaan di kuta Pakpak, “uga satu bale”, dibangun menurut arsitektur
Pakpak, beratap ijuk aren, tiang kayu bundar besar, dinding dan lantai
terbuat dari papan tebal kira-kira 2 inci, berkolong antara 1,5 sampai 2
meter dan tanpa menggunakan paku besi, karena memang pada waktu itu
belum ada. Rumah-rumah ini biasanya dihuni 6 sampai 8 keluarga. Maka
kuta Sicikecike pada zaman itu bisa dikatakan lumayan besar dan ramai.
Di kuta Sicikecike ini dipimpin oleh seorang raja bernama “Raja Naga
Jambe” yang memiliki 2 orang istri, berru Saraan yang kemudian
melahirkan 3 orang anak: Raja Udjung, Raja Angkat serta Raja Bintang,
dan dari berru Padang melahirkan 4 orang anak: Raja Capah, Raja Gajah
Manik, Raja Kudadiri dan Raja Sinamo. Keluarga ini serta penghuni
lainnya hidup damai dan rukun, berkecukupan sandang dan pangan karena
memang di tanah sekitarnya luas dan subur, menghasilkan panen yang
melimpah, dalam istilah Toba “Gabe Naniula, Sinur na Pinahan”. Kenapa
kuta yang begitu menyenangkan bisa tiba-tiba menjadi danau? Suatu hari
Raja Naga Jambe hendak menanam padi, dan menurut kebiasaan, semua
penduduk kuta Sicikecike meninggalkan kuta pergi ke ladang Raja Naga
Jambe. Hanya satu orang yang ditinggal karena sakit-sakitan, sudah uzur
dan tidak mampu membantu lagi, yaitu beru Saraan, isteri pertama Raja
Naga Jambe. Menurut kebiasaan, makanan para peserta dimasak di juma.
Makanan untuk orang yang ditinggal di kuta, yakni untuk berru Saraan, di
antarkan dari ladang. Tentunya beliau berharap ketika makan siang ada
yang mengantarkan makanannya. Nyatanya tidak. Semula sabar menunggu,
tetapi sesudah “goling ari” belum juga ada yang mengantar makanannya,
sedang beliau sudah merasa sangat lapar. Dia mulai gelisah, tidak sabar,
merasa sedih tidak diperdulikan. Air matanya meleleh satu per satu.
Diusapnya kucing yang berada dipangkuannya, sambil dengan tangisnya
mengadukan nasibnya kepada Tuhan. Tiba-tiba saja, langit yang tadinya
cerah berganti turun hujan yang lebat bersama taufan sambung menyambung.
Dan ketika itulah kuta Sicikecike dengan segala yang berada di atasnya,
rumah dan segala isinya serta nenek tua, berru Saraan dengan kucingnya
seolah-olah ditelan bumi, kemudian beralih menjadi danau. Itulah danau
Sicikecike. Keanehan danau ini, menurut cerita, airnya senantiasa sampai
kepinggir atas danau, tidak pernah melimpah bagaimanapun lamanya dan
derasnya hujan dan juga tidak pernah surut walaupun saat musim kemarau.
Mereka yang pernah mengunjungi danau itu menyatakan pada hari-hari cerah
dapat dilihat bahan-bahan kayu bekas tiang, lantai dan dinding rumah.
Bagaimana nasib penduduk kuta Sicikecike itu sesudahnya? Sesudah
meratapi nasib malang karena tidak mempunya apa-apa lagi, mereka
berpencar mencari tempat hidup baru. Demikian pula dengan keluarga Raja
Naga Jambe, beserta ketujuh anaknya. Keturunan dari istri pertama pindah
bersama Raja Naga Jambe ke daerah kota Sidikalang, tepatnya di
persimpangan jalan Pasar Lama ke Kuta Kalang Simbara. Dari kuta itulah
kemudian pindah membangun kutanya sendiri. Udjung pindah ke kuta Kalang
Batangberuh, Kalangjehe dan Kalangsimbara, Angkat ke kuta Sidiangkat,
Bintang ke kuta Tambun dan kuta Bintang. Kuta yang lama yang tua-tua
pernah memberi julukan “Kuta Sitellu Nempu” karena dihuni oleh ketiga
kakak beradik, tentunya tidak utuh ditinggalkan dan sisa bangunannya
lenyap dimakan waktu. Anak-anak dari berru Padang pindah ke tempat
berlainan: Capah ke sekitar kuta Bangun, Kudadiri disekitar kuta Sitinjo
sekarang, Gajahmanik pindah ke kuta Binara (sekarang Sunge Raya),
sebagian marga Capah pindah dari kuta Bangun ke kuta Lae Meang dan
sebagian marga Kudadiri pandah dari kuta Sitinjo ke kuta Keneppen
(sekarang Kuta Imbaru). Lain dengan Sinamo. Kalau keenam saudaranya
tetap bermukim di daerah Pakpak Keppas, Sinamo pinadh ke sekitar
Tinada-Parongil di daerah Pakpak Simsim Sekalipun ketujuh marga ini
berlainan tempat tinggalnya, mereka tetap mengakui kuta Sicikecike
sebagai asal mereka. Hal itu dibuktikan dengan cara bersama-sama
melakukan ziarah. Apa yang diutarakan penulis mengenai kuta Sicikecike,
tenggelamnya serta beralih menjadi danau, diketahui dari turunan
tua-tua. Jika ada yang kurang atau berlebihan, mohon diberitahu agar
segera dapat dikoreksi.
0 komentar:
Post a Comment